Liem Swie King adalah atlet pebulutangkis (Badminton) Indonesia yang melegenda di dunia, ia mengalahkan maestro bulutangkis dunia yang berasal juga dari Indonesia Rudi Hartono pada final all england 1979. dia juga adalah penemu king jump smash atau jump smash. dia juga disebut-sebut sebagai pebulutangkis terbaik dunia yang pernah ada.
Merupakan generasi emas kedua di tunggal putra. King dianggap penerus kejayaan yang ditinggal Rudy Hartono. Tiga kali gelar All England dan empat runner-up dirasakan pebulutangkis kelahiran Kudus, 28 Februari 1956 ini. Gaya smash yang dilakukannya sambil melompat menjadi cirikhasnya hingga melahirkan julukan “King Smash”. Semerti halnya Rudy Hartono, Liem Swie King pun pernah bermain film layer lebar berjudul “Sakura dalam Pelukan”. Bahkan jejak langkahnya difilmkan dengan judul “King”.
2.Susi Susanti
Masa keemasannya yang berlangsung cukup panjang, berpuncak pada juara tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona, Spanyol (1992). Dia peraih emas pertama Indonesia di Olimpiade. Ketika itu Alan, pacarnya, juga juara di tunggal putra sehingga media asing menjuluki mereka sebagai "Pengantin Olimpiade". Predikat pengantin ini rupanya terus melekat, terbukti saat mereka dipercaya menjadi pembawa obor Olimpiade Athena 2004.
Prestasi yang mengharumkan nama bangsa juga diukir oleh Susi dengan meraih sederetan kejuaraan. Dia menjuarai All England empat kali (1990, 1991, 1993, 1994). Sang juara yang punya semangat pantang menyerah ini selalu menjadi ujung tombak tim Piala Sudirman dan Piala Uber. Juga juara dunia (1993) dan puluhan gelar seri grand prix.
Kiprah Susi Susanti di dunia olahraga bulutangkis Indonesia memang luar biasa. Dalam setiap pertandingan, ia menunjukkan sikap tenang bahkan terlihat tanpa emosi di saat-saat angka penentuan. Semangatnya yang pantang menyerah meski angkanya tertinggal jauh dari lawan membuat banyak pendukungnya menaruh percaya bahwa Susi pasti menang.
Berkat kegigihan dan ketekunannya, perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 Februari 1971 ini turut menyumbang sukses tahun 1989 ketika Piala Sudirman direbut tim Indonesia untuk pertama kalinya dan sampai sekarang belum lagi berulang. Dia pun turut menorehkan sukses saat merebut Piala Uber tahun 1994 dan 1996 setelah piala itu absen lama dari Indonesia.
Semenjak SD, Susi sudah suka bermain bulutangkis. Kebetulan orang tuanya juga sangat mendukung dan memberinya kebebasan untuk menjadi atlit bulutangkis. Setelah menang kejuaraan junior, ia pindah dari
Tasikmalaya ke Jakarta. Meski saat itu ia masih duduk di bangku 2 SMP, ia sudah mulai berpikir untuk serius di dunia bulutangkis.
Sebagai atlit, jadwal latihannya sangat padat. Enam hari dalam seminggu, Senin - Sabtu dari jam 7 sampai jam 11 pagi, lalu disambung lagi jam 3 sore sampai jam 7 malam. Makan, jam tidur, dan pakaian juga ada aturannya tersendiri. Ia tidak diperbolehkan memakai sepatu dengan hak tinggi agar kakinya terhindar dari kemungkinan keseleo. Jalan-jalan ke mal pun hanya bisa dilakukannya pada hari Minggu. Itu pun jarang karena ia sudah terlalu capek latihan.
Memang tidak ada pilihan lain, ia harus disiplin dan berkonsentrasi untuk menjadi juara. Ia akhirnya menyadari bahwa untuk meraih prestasi memang perlu perjuangan dan pengorbanan. “Kalau mau santai dan senang-senang terus, mana mungkin cita-cita saya untuk jadi juara bulutangkis tercapai? Sekarang rasanya puas banget melihat pengorbanan saya ada hasilnya. Ternyata benar juga kata pepatah: Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian,” kata Susi mengenang.
Ketika masih menjadi pemain, Susi berusaha menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para pemain lainnya. Ia sangat berdisiplin dengan waktu saat berlatih atau di luar latihan. Sementara di lapangan ia memperlihatkan semangat pantang menyerah sebelum pertandingan berakhir. "Saya hanya berharap teman-teman pemain mengikuti yang baik-baik dari saya," kata Susi.
Nyatanya, cara ini tidak melulu berhasil. Sepeninggal Susi (dan Mia Audina), sektor putri bulutangkis Indonesia mandek. Piala Uber semakin jauh dan puncaknya, tidak satu pun pemain tunggal puteri Indonesia lolos ke Olimpiade Athena 2004.
Susi yang telah mundur mengakui merosotnya prestasi karena memang kekurangan bibit pemain unggul. "Kita bisa saja memberi prasayarat pemain untuk berhasil, tetapi kalau bibitnya tidak ada bagaimana?" Susi melihat popularitas bulutangkis semakin merosot sementara proses seleksi melalui kejuaraan antarklub dan daerah semakin sedikit.
Merasa Sedih
Susi merasa sedih karena olahraga bulutangkis tidak lagi dipandang antusias oleh masyarakat. Ia mengingat betapa antusiasnya masyarakat menyambut kejuaraan bulutangkis seperti All England. Susi melihat hal ini disebabkan karena perhatian anak-anak muda masa kini lebih ke hiburan. Belum lagi maraknya kasus penyalahgunaan obat terlarang, seperti shabu dan narkotika.
Masyarakat juga lebih banyak membaca, mendengar, atau menyaksikan berita-berita kekalahan pebulutangkis Indonesia lewat media massa. Itu tentu berbeda dengan era Tan Joe Hok cs, Liem Swie King, hingga Ardy B Wiranata cs yang banjir mahkota juara.
Keadaan semakin rumit karena orang takut serius terjun di dunia olahraga Indonesia karena tidak jelasnya jaminan akan masa depan. Susi sendiri sudah berniat tidak akan mengijinkan anaknya terjun ke dunia olahraga mengingat pengalamannya dulu. Ia melihat banyak rekannya yang pernah menjadi juara SEA Games, Asian Games, namun hidupnya terkatung-katung.
Selain itu, menjadi atlet olahraga membutuhkan banyak resiko misalnya sekolah yang terhenti, padahal olahraga yang ditekuni tidak mendapat perhatian dan dukungan dari pemerintah. Susi sendiri terpaksa mengorbankan sekolah (hanya sampai SMA). Ia pun menghadapi banyak halangan sebab ada pihak-pihak dari organisasi yang tidak menyukainya. Meski ia berprestasi namun kemudian berhenti, dari situlah ia mendapat pengalaman bahwa bulutangkis belum bisa menjamin masa depannya.
Ia berharap bagi para atet berprestasi yang sudah tidak bermain diberikan dana pensiun yang memadai. Ia khawatir kalau persoalan masa depan atlet belum terpecahkan atau tidak ada jaminan dari pemerintah, bibit-bibit potensial atlet akan sulit ditemukan karena mereka akan memilih jalur pendidikan. "Saya harap PBSI dan KONI memerhatikan persoalan ini. Kalau ini dibiarkan terus, hasilnya akan seperti sekarang ini," ujarnya.
Ia menyesalkan masalah pembinaan yang membuat olahraga semakin terpuruk. Selama ini, hanya kesadaran dari keluarga masing-masing yang ingin anaknya menjadi pemain bukan karena pemerintah ingin memajukan olahraga. Pemerintah dan PBSI hanya menunggu, bukan membina dari daerah, memantau, mencari yang berbakat, baru diambil. Mereka hanya terima jadi saja. Ia beranggapan, semua orangtua saat ini akan seratus kali berpikir untuk membiarkan anaknya menjadi atlet.
Susi mengaku mempunyai pengalaman yang mengecewakan terutama dalam organisasi. Ketika ia dan Alan berprestasi, ada pihak-pihak tertentu yang tidak senang. Mereka berusaha membagi bonus kepada Susi dan Alan dengan asumsi mereka berdua dianggap satu orang. Hal ini menunjukkan sikap tidak profesional pemerintah maupun PBSI yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu.
Dari segi organisasi internal, Susi berharap agar orang-orang yang terlibat di PBSI (Persatuan Bulutangkis seluruh Indonesia) adalah orang yang benar-benar ingin memajukan perbulutangkisan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Melihat keadaan dunia olahraga yang belum menjanjikan bagi para atlit, Susi belajar dari pengalaman kakak-kakak seniornya. Susi belajar me-manage keuangannya. Saat ia meraih berbagai prestasi dan hadiah seperti bonus, ia usahakan untuk diinvestasikan ke dalam bentuk tanah, rumah atau tabungan. Ia tahu bahwa prestasi olahragawan itu singkat dan tidak selamanya berada di atas.
Kedua orang tuanya pun sering berpesan agar ia tidak sombong dan hidup sederhana. Susi juga banyak mendapat masukan dari Ir. Ciputra, seorang pengusaha sukses yang dulu merupakan pimpinannya di Klub Bulutangkis Jaya Raya, agar mempergunakan waktu sebaik mungkin dan giat berprestasi sebisa mungkin.
Mulai dari Nol
Ketika berhenti dari dunia bulutangkis, Susi harus memulai dari nol lagi. Meski ada modal dari pendapatan saat aktif di bulutangkis, Susi masih harus belajar dan bersabar mencari usaha apa yang akan ia jalankan. Suaminya, Alan Budikusuma, berulang kali mencoba berbagai jalan untuk menghidupi keluarga mulai dari jual beli mobil, dibantu menjadi rekanan di sebuah instansi, belajar menjadi agen Gozen (alat olahraga bikinan Malaysia) dan menjadi pelatih di Pelatnas. Itu semua menjadi bukti bahwa bahwa setelah tidak berprestasi, mereka berdua harus memulai lagi dari nol.
Untunglah, Susi dan Alan mendapat dukungan dari orang-orang yang terdekatnya. Sedikit demi sedikit mereka belajar menimba pengalaman dan pengetahuan. Baru sekitar satu setengah tahun, mereka bisa berdiri sendiri dan mempunyai keyakinan membuat usaha sendiri.
Sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh tiga orang anak, anak pertama perempuan bernama Lourencia Averina, sedangkan yang kedua dan ketiga adalah lelaki; Albertus Edward dan Sebastianus Frederick, Susi juga ingin ikut membantu keluarga. Bila anak-anaknya sekolah, ia ingin mempunyai kesibukan tetapi tidak menyita waktu untuk keluarga.
Oleh karena itu, ia membuka toko di ITC Mega Grosir Cempaka Mas dengan nama D&V dari nama kedua anaknya, Edward dan Verin. Ia menjual baju-baju dari Cina, Hongkong, dan Korea, dan sebagian produk lokal.
Sebagai mantan atlit bulutangkis, peraih penghargaan tertinggi bulutangkis dari International Badminton Federation (IBF) ‘Hall of Fame’ 2004 ini tetap peduli dengan dunia yang pernah membesarkannya ini. Bersama suaminya, Alan Budi Kusuma - peraih medali emas Olimpiade 1992 pula - ia mendirikan Olympic Badminton Hall di Kelapa Gading. Di gedung pusat pelatihan bulutangkis ini, Susi berharap akan muncul bibit pemain yang akan mengembalikan kejayaan bulutangkis Indonesia.
yang tak terlupakan bagi Susi adalah saat ia berhasil menyumbangkan emas Olimpiade yang pertama bagi Indonesia di Barcelona (Olimpiade Barcelona 1992) bersama Alan Budikusuma yang juga mendapatkan emas. Sedangkan yang paling mengesalkan baginya adalah saat ia kalah hanya satu poin dari Sarwendah (Kusumawardhani) di final Piala Dunia di Jakarta.
3. Alan Budi Kusuma
Permainannya tidak segemilang Rudy Hartono maupun Liem Swie King. Namun prestasi yang telah mengharumkan nama Indonesia untuk pertamakalinya di ajang Olimpiade Barcelona 1992 membuat Alan masuk daftar pebulutangkis terbaik di negeri ini. Alan belum pernah merasakan juara All England maupun Thomas Cup. Namun dengan emas Olimpiade, Alan dianugrahi Tanda Kehormatan Republik Indonesia Bintang Jasa Utama seperti Rudy Hartono.
Pebulutangkis Indonesia yang juga memiliki gelar lengkap. Dua kali gelar All England bisa diraihnya pada 1993, 1994. Juara Thomas Cup pernah dirasakan sebanyak 4 kali (1994, 1996, 1998, 2000), Juara Dunia 1994, 1995 dan beberapa open turnamen lainnya. Yang lebih fenomenal, Haryanto Arbi merupakan penerus Liem Swie King dalam hal jumping smash. Bahkan Haryanto Arbi dijuluki “Smash 100 watt” karena kecepatannya.
Taufik Hidayat (lahir di Bandung, Jawa Barat, 10 Agustus 1981; umur 29 tahun) adalah pemain bulu tangkis tunggal putra dari Indonesia yang berasal dari klub SGS Elektrik Bandung dengan tinggi badan 176 cm.
Putra pasangan Aris Haris dan Enok Dartilah ini adalah peraih medali emas untuk Indonesia pada Olimpiade Athena 2004 dengan mengalahkan Seung Mo Shon dari Korea Selatan di babak final. Pada 21 Agustus 2005, dia menjadi juara dunia dengan mengalahkan permain peringkat 1 dunia, Lin Dan di babak final, sehingga menjadi pemain tunggal putra pertama yang memegang gelar Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis dan Olimpiade pada saat yang sama. Selain itu, ia juga sedang memegang gelar juara tunggal putra Asian Games (2002, 2006). Ia tampil di Olimpiade Beijing 2008, namun langsung kalah di pertandingan pertamanya, melawan Wong Choong Hann di babak kedua.
Selain itu, dia juga telah enam kali menjuarai Indonesia Terbuka: 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, dan 2006.
Pengalaman lainnya antara lain pada Piala Thomas (2000, 2002, 2004, 2006, dan 2008) serta Piala Sudirman (1999, 2001, 2003, dan 2005).
Ia menikahi Ami Gumelar, putri Agum Gumelar dan Linda Amalia Sari. Mereka telah dikaruniai seorang putri pada tanggal 3 Agustus 2007, yang kemudian diberi nama Natarina Alika Hidayat. Kelahiran putrinya ini tepat beberapa hari sebelum ia berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia untuk mengikuti Kejuaraan Dunia. Kemudian mereka telah dikaruniai seorang putra pada tanggal 11 Juni 2010, yang kemudian diberi nama Nayutama Prawira Hidayat.[1][2]
Taufik kemudian mundur dari Pelatnas Cipayung pada 30 Januari 2009. Setelah itu ia menjadi pemain profesional. Beberapa waktu lalu ia juga menjalin bisnis dengan Yonex dalam pengadaan alat olahraga.
6.Chris John
Yohannes Christian John, atau lebih dikenal sebagai Chris John (lahir di Jakarta, 14 September 1979; umur 31 tahun) adalah seorang petinju Indonesia. Ia tercatat sebagai petinju Indonesia ketiga yang berhasil meraih gelar juara dunia, setelah Ellyas Pical dan Nico Thomas.
7.yayuk basuki
Sri Rahayu Basuki atau lebih dikenal dengan nama Yayuk Basuki (lahir pada 30 November 1970 di Yogyakarta) adalah pemain tenis dari Indonesia yang paling terkenal pada tahun 1990-an.
Ia memulai karier profesional pada tahun 1990. Pada tahun berikutnya, ia menjadi petenis Indonesia pertama yang menjuarai turnamen profesional. Sepanjang kariernya, Yayuk berhasil memperoleh enam gelar tunggal Tur WTA dan sembilan gelar dari ganda. Prestasi terbaiknya dalam turnamen Grand Slam adalah mencapai babak perempat final Wimbledon pada tahun 1997. Ia pensiun dari karier profesional pada tahun 2004.
Peringkat tertinggi yang pernah dicapainya adalah posisi ke-19 untuk bagian tunggal dan ke-9 untuk bagian ganda. Jumlah uang yang diperolehinya selama karier adalah US$1.645.049.
8. Kurniawan Dwi Yulianto
Kurniawan Dwi Yulianto adalah pesepakbola Indonesia yang melegenda ia memperkuat Tim Nasional Sepak Bola Indonesia dan ia juga memperkuat tim sepak bola Serie-A Sampdoria, ia juga menciptakan gol terbaik asia pada masanya melalui tendangan saltonya.
9.Ade Rai
Ade Rai merupakan binaragawan asal Indonesia yang mendunia ia mengharumkan nama Indonesia melalui prestasinya di bidang binaraga
10. Rochy Puttiray
Rochy Puttiray adalah pesepakbola Indonesia yang melegenda di Indonesia maupun di Asia Tenggara, ia bermain di berbagai kompetisi di Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar